Endri, Shopyan & Cucu di depan Stasiun Kiaracondong |
Waktu masih menunjukkan pukul 04.30 WIB, tetapi kami sudah berkumpul di depan stasiun Kiara Condong, Bandung. Pagi itu kami akan berangkat menuju Solo untuk Mendaki salah satu gunung yang memiliki puncak di atas ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut, yaitu Gunung Lawu. Perjalanan kami menuju Gunung Lawu, yang terletak di antara Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, harus kami tempuh dengan bebarapa jenis angkutan umum. Dari Bandung, kami harus menaiki kereta untuk sampai di stasiun terdekat menuju Gunung Lawu di Kota Solo. Ada bebarapa stasiun di Kota Solo, tetapi stasiun tujuan kami adalah Stasiun Purwosari. Dari Stasiun Purwosari, kami harus menaiki bus sebanyak 2 kali untuk sampai di Tawangmangu. Setelah itu, kami harus menaiki mobil angkutan umum untuk sampai di salah satu jalur pendakian Gunung Lawu, yaitu Cemoro Kandang. Pemilihan Cemoro Kandang sebagai jalur pendakian kami karena jalur ini didominasi oleh medan yang landai meskipun harus memakai waktu yang lebih lama dibandingkan jalur Cemoro Sewu.
Kereta Pasundan |
Kereta yang kami tumpangi adalah kereta Pasundan jurusan Stasiun Kiaracondong Bandung – Stasiun Gubeng Surabaya. Berdasarkan data yang terlampir di tiket, kereta ini akan berangkat pukul 05.20 WIB pada tanggal 22 November 2014 dan akan tiba di Stasiun Purwosari pada pukul 14.58 WIB di hari yang sama. Dengan berbekal informasi tersebut, kami optimis kami bisa sampai di posko pendakian Cemoro Kandang pada malam hari, bermalam di sana dan memulai pendakian pada esoknya, tanggal 23 November 2014 pagi. Berdasarkan referensi, melalui jalur Cemoro Kandang dibutuhkan waktu sekitar 8-9 jam untuk sampai di Puncak Lawu, yaitu Hargo Dumilah. Sehingga kami berencana untuk melakukan perjalanan hanya satu hari menuju puncak dan bisa menikmati matahari terbit tanggal 24 November 2014 di Puncak Lawu.
Setelah semua perbekalan dicek kembali dan lengkap, kami berempat memasuki stasiun Kiara Concong menuju pintu keberangkatan. Kami harus menjalani pengecekan tiket dengan mencocokannya dengan nomor ID KTP kami. Karena tidak ada masalah, kami hanya menjalani pengecekan beberapa detik saja. Ketika kami sampai di peron, kereta yang akan kami tumpangi telah ada dan para penumpang sedang memasukinya. Gerbong tempat duduk kami adalah gerbong 1, yaitu di belakang lokomotif sehingga kami harus berjalan beberapa langkah dari pos pengecekan tiket untuk sampai ke gerbong kami.
AC di setiap gerbong |
Sumer daya yang patut untuk disyukuri:) |
Suasana dan interior kereta yang rapi dan bersih |
Di dalam gerbong, ternyata kami tidak duduk di satu tempat, saya dan Endri harus duduk terpisah dari Cucu dan Shopyan. Mereka memang sengaja duduk berdua karena kami sepakat bahwa mereka adalah peserta pengembaraan yang akan memutuskan segalanya bersama-sama sehingga duduk bersama di dalam kereta memungkinkan mereka untuk berdiskusi mengenai perjalanan mereka.
Kereta Pasundan adalah kereta jenis ekonomi yang mampu membuat saya terheran-heran. Saya pernah melakukan perjalanan ke tanah Jawa sebelumnya dengan menaiki kereta ekonomi sekitar lima tahun yang lalu. Interval waktu yang lama tersebut ternyata mampu memberikan perbedaan kesan yang signifikan. Dulu saya harus berdesak-desakan dengan penumpang lainnya di pintu masuk gerbong karena saya tidak kebagian tempat duduk. Pada saat kereta melaju, banyak pedagang makanan yang menjajakan makanan. Suasananya begitu kumuh. Bahkan saya pun tak berani untuk menggunakan toilet. Namun, suasana di kereta ekonomi kali ini berbeda 180 derajat. Saya duduk dengan nyaman di bangku yang nomornya sesuai dengan yang tertera di tiket saya. Ini lah keberuntungan jika kita menaiki kereta dari stasiun keberangkatan. Dalam perjalanan menuju purwosari, saya pun memperhatikan bahwa tidak ada orang yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Sepertinya telah ada peraturan bahwa jumlah penumpang kereta tidak boleh melebihi batas maksimumnya. Tidak ada para penjaja makanan yang naik dan turun di setiap stasiun tempat kereta ini berhenti. Para penjaja makanan itu sekarang digantikan oleh petugas kereta yang berpenampilan bak pramugari/a yang ada di pesawat terbang. Mereka memakai seragam yang sama dan menawarkan berbagai jasa kepada penumpang, di antaranya makanan berat, makanan ringan, mie rebus panas, minuman ringan, kopi panas, penyewaan bantal, dan lain sebagainya. Harga di kereta memang lebih mahal beberapa ribu, tetapi masih terjangkau oleh penumpang. Bahkan ada petugas kebersihan yang bebarapa kali meminta izin untuk mengambil sampah hasil aktivitas kami di kereta. Setelah saya perhatikan cukup lama, jendela bagian atas di setiap gerbong ditutup secara permanen sehingga tidak ada angin yang dapat masuk ke kereta. Hal ini wajar karena setiap gerbong dipasangi AC yang jumlahnya bisa mencapai 3 unit. Kehadiran AC ini dapat menyejukkan udara di dalam gerbong. Namun, pada saat kereta mulai melewati daerah dekat pantai dan pada siang hari, udara di luar terlalu panas sehingga AC serasa tidak berfungsi sehingga kami sering mengeluh dan meminta petugas untuk menurunkan nilai temperatur AC. Setiap tempat duduk berhadapan dan dipasangi dengan stop kontak yang membuat saya merasa menyesal karena saya tidak membawa charger handphone dan kamera saya. Secara keseluruhan, fasilitas-fasilitas tersebut mampu membuat perjalanan saya terasa bukan berada di kereta kelas ekonomi, bahkan saya pun tak takut untuk menggunakan toilet kereta.
Para peserta pengembaraan |
Saya dan teman duduk saya |
Kereta berangkat tepat pukul 05.20 WIB. Saya harus duduk dan berbagi ruang dengan penumpang lain yang membuat saya juga harus berbagi privasi dan kenyamanan. Namun, teman duduk saya ternyata orang-orang yang sangat asyik. Awalnya saya ragu untuk mengajak mereka mengobrol, tetapi hanya karena kesalahpaman yang lucu, kami akhirnya menjadi akrab dan saling bertukar cerita. Berasal dari suku dan daerah keberangkatan yang sama, percakapan kami menjadi natural. Bahkan kami tak canggung untuk bercanda. Perjalananan yang semula saya pikir akan terasa membosankan karena saya duduk bepisah dari teman rombongan menjadi begitu hangat dan penuh dengan kenangan. Ini lah indahnya sebuah perjalanan. Perjalanan dapat menyatukan hati berbagai jenis orang yang berbeda latar belakang dan cerita tetapi memiliki satu tujuan.
Kereta beberapa kali berhenti dengan durasi yang berbeda-beda. Setelah perjalanan beberapa jam, saya mulai meyadari bahwa kereta tidak berhenti di setiap statisun. Kereta akan berhenti antara dua alasan, yaitu menaikkan dan menurunkan penumpang atau menunggu kereta lain untuk lewat. Jika kereta akan berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, maka akan ada pengumuman dari petugas kereta agar penumpang bersiap-siap untuk turun di stasiun yang akan dituju. Jika tidak ada pengumuman dari petugas sebelum kereta untuk berhenti di sebuah stasiun, maka dipastikan bahwa kereta harus menunggu sampai kereta dari arah berlawanan melewatinya. Pada alasan yang kedua ini, banyak penumpang termasuk saya turun untuk sekedar memotret stasiun dan beberapa interior kereta.
Jalur yang kereta ini tempuh adalah jalur selatan. Selama perjalanan, kereta melintasi daerah Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, daerah Jawa Tengah bagian selatan, Yogyakarta dan Solo untuk kemudian berhenti di stasiun terakhir di Surabaya. Ketika kereta masih melaju di tanah Sunda, saya masih bisa mengetahui daerah apa yang sedang dilintasi dari nama-nama stasiun kereta yang kami lalui. Namun, setelah kereta melintasi tanah Jawa, saya mulai pusing dan berhenti untuk mecari tahu daerah apa yang sedang dilalui, karena pengetahuan saya terhadap daerah-daerah di tanah Jawa masih kurang. Akhirnya saya pasrah untuk menikmati perjalanan sampai stasiun tujuan.
Matahari terbit di balik gunung ini. Gunung apa ya? Terletak di daerah Garut. Apakah Cikuray? |
Bentang alam yang dihadirkan oleh kedua tanah tersebut berbeda. Ketika kereta masih melaju di tanah Sunda, kereta melaju di dataran tinggi dengan bentang alam yang terdiri dari pesawahan, gunung tinggi menjulang dan jembatan yang melewati jurang-jurang antar bukit dan melintasi sungai. Saya terus dibuat terkagum-kagum oleh keindahan alam tersebut, apalagi saya beruntung bisa menikmati indahnya langit saat matahari terbit di balik pegunungan. Namun, setelah melewati tanah Jawa, pemandangan digantikan oleh persawahan dataran rendah dan udara yang panas khas daerah dekat pantai. Di tanah Jawa ini saya mulai kehilangan kendali atas kesadaran saya. Beberapa kali saya harus menyerah untuk bertarung dengan rasa kantuk yang disebabkan oleh kurangnya jam tidur malam.
Welcome to Purwosari!!! |
Stasiun nya begitu rapi dengan interior Jawa yang khas |
Sebuah kebanggaan membawa organisasi di tempat yang baru |
Jadwal tiba kami di stasiun Purwosari terlambat dari yang seharusnya. Kami tiba di Puwosari pada pukul 15.30 WIB, terlambat setengah jam dari jadwal seharusnya. Keterlambatan ini kemungkinan disebabkan oleh lamanya waktu kereta ketika menunggu kereta lain melintas. Kami pun bertanya-tanya apakah kami bisa sampai di Cemoro Kandang malam ini. Jika kami tidak mendapatkan mobil terakhir menuju Cemoro Kandang, dimanakah kami harus menghabiskan malam itu? Dengan hati cemas, kami melanjutkan perjalanan.
Bersambung ...
1 komentar:
nice post dude...
Posting Komentar