.

.
Rabu, 26 November 2008

Kondisi survival merupakan situasi paling dihindari saat di alam liar. Berarti ada sesuatu yang salah terjadi bila kita terpaksa menghadapinya. Bila malapetaka itu terjadi, kita benar-benar mengandalkan belas kasihan alam untuk tetap hidup.

Terlalu banyak teori bertahan hidup di alam yang dapat dipelajari. Namun bila situasi sebenarnya terjadi, berdoalah agar alam tetap ramah. Maka para petualang selalu melengkapi dirinya dengan perbekalan dan pengetahuan yang cukup supaya kondisi survival tak terjadi. Walau hanya dalam latihan, saya tak minat bila harus kembali berbekal survival kit di alam liar. Survival kit biasanya tak kurang dari peta, kompas, pisau, korek api, senter, air, dan obat2an luar. Hanya dengan beberapa alat sederhana itulah seseorang harus bertahan hidup berhari-hari di hutan.

Namun itu tentunya kondisi “jadul” saat kita masih menggeluti petualangan di gunung hutan. Kini dengan perlengkapan seperti itu, seseorang tak akan bertahan hidup lebih dari dua hari di kota, kecuali melanjutkannya dengan mengemis atau menggunakan pisaunya untuk menodong.

Lalu apakah survival kit yang dibutuhkan homo metropolis kini? Makin lama ternyata semakin tak masuk akal dan semakin jauh dari kebutuhan fisiologisnya. Mungkin Maslow si pencipta piramida kebutuhan pun akan bangun dari kuburnya melihat hirarki kebutuhan manusia kota kini.

Cobalah iseng melakukan survey pada orang-orang sekeliling Anda. Barangkali beberapa orang –supaya kelihatan profesional– dengan cepat akan menyebutkan beberapa gadget seperti laptop, flashdisk, iPod atau hand-set. Yang lain pun akan terlihat tak tergoyahkan ketika mengucapkan handphone, Playstation, hotspot, dan DVD Player.

Sebagian lagi merasa menjadi orang paling tolol di dunia bila tak menjumpai koran, situs online, atau media gosip. Beberapa masih ingat pada ususnya, namun hanya dapat mengingat McDonalds, Pepsi, dan fried chicken. Lalu maafkan kekasaran bahasa saya, tapi beberapa orang akan memasukkan kondom dan pil KB ke dalam daftar survival kit-nya. Beberapa mencoba lebih bijak dengan menyebut listrik 900 watt, kartu ATM, dan premium.

Entah apakah berbagai survival kit itu akan menyelamatkan hidupnya saat banjir besar melanda Jakarta dan menenggelamkan kota. Dalam keadaan kelaparan dan haus, apakah Anda mau menukar Nokia Communicator E90 milik Anda dengan sekardus mie intan dan Aqua. Bilapun Anda rela menukarnya, apakah orang lain mau menukar Indomie dan Aquanya dengan ponsel glamor yang tak berguna itu.

Sejenak saya tercenung, begitu rentankah hidup manusia kini. Semakin modern kehidupan ternyata tak menjadikan manusia semakin kuat, justru sebaliknya semakin lemah. Kemanjaan semakin menjadi-jadi dan mengherankan. Ada yang merasa tak dapat lagi berolahraga saat kartu member fitness atau golfcard-nya telah expired, dan ada yang merasa terkurung tak dapat kemana-mana ketika sedan limo-nya mogok.

Entah saya ada di mana ketika dunia metropolis ini menggelinding dengan derasnya. Namun bila harus terperangkap dalam kondisi survival kota yang “paling menyedihkan” itu, saya akan selalu terngiang ketika dulu coba berkelit dari keganasan gunung hutan. Dalam remang api yang semakin mengecil, hanya ada air mentah dan beberapa makanan untuk dikunyah. Antara lain honje, batang pohon pisang, suplir-supliran dan sekantong serangga. Berhasil menangkap ikan atau reptil yang montok adalah sebuah kemewahan bagi kala itu. Sebaiknya semua segera dilahap agar tubuh tak menjadi lemas.

Tak adakah yang perlu disisakan untuk hari-hari survival berikutnya? Benar sekali, hari survival berikutnya selalu saya hadapi tanpa rasa khawatir. Bukan karena falsafah kumaha isukan tapi karena ada yang jauh lebih berharga dari itu semua. Ya, saya akan merasa kuat menghadapi sesukar apapun dunia esok hari dengan seorang teman di samping. Hmm…seorang teman, setidaknya itulah yang paling saya butuhkan dalam survival dimanapun.

0 komentar: